Selasa, 29 November 2016

Desa Wae Rebo Flores sebagai Desa Misterius di atas Awan (Wonderful Indonesia)


#SELAMAT MALAM PARA KAWAN#
(Menyimak info sekitar Desa Wae Rebo Flores sebagai 
Desa Misterius diatas Awan)
_________________________________________________________










__________________

Kata Pengantar
__________________

Para kawan sekalian...!

Lewat link :
.........
penulis mengurai mengenai Nagari Pariangan sebagai
1 dari desa terindah di Dunia. Dan memang indah.

Pada saat mengurai penulis terbawa arus, kalau yang
pakai arus-lah postingan ini, ke Kampung Wae Rebo Flores
Indonesia. Suatu Kampung Misterius katanya yang 
ke-beradaannya, berada ditas awan dibawah lagit.

Telusur punya telusur, ternyata tertulusuri bahwa
nenek Moyangnnnya orang-orang yang berada di Kampung
Misterius atas awan ini berasal dari Minang. Minag
Kabau Sumatra barat maksudnya. 

Hebat bukan...?

...dan...

Karena hebatnya, awak-pun tak tahu entah dalam rangka
apa pula orang-orang minang kabau masa lampau tersebut
ke Flores sana.

Dan ini pulalalh salah satu ruginya jika kita manusia
ini lahir dan hidup dimasa kini. Banyak peristiwa masa
lampau itu tidak kita alami. Kita menjadi tidak termasuk 
pelaku sejarah.

Padahal dan padahal...!

Kalau kita yang menjadi pelaku sejarah itu, maka orang
orang masa kini itu akan menyebut kita Nenek Moyang.

Para kawan sekalian...!

Anda mau jadi Nenek moyang bukan...?

a. Mau...!
b. Tidak mau...!

Oke-lah kalau begitu...!

Kembali ketopik. Dan berikut info sekitar Desa Wae Rebo 
Flores sebagai Desa Misterius di atas Awan. Info ini di
dukung animasi langsung dari tempat kejadian.

Selamat menyimak...!

____________________________________

Sekilas info Wae Rebo - Wiki
____________________________________









Wae Rebo adalah sebuah desa adat terpencil dan misterius 
di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. 

Di kampung ini hanya terdapat 7 rumah utama atau yang 
disebut sebagai Mbaru Niang. Menurut legenda masyarakatnya, 
nenek moyang mereka berasal dari Minangkabau, Sumatera.



______________________________________________________

Sekilas info tentang Wae Rebo, Kampung di Atas Awan
______________________________________________________


* Pemahaman awal

Wae Rebo memang indah dan menakjubkan, diselimuti oleh 
kabut tipis di seluruh perkampungan membuat Wae Rebo 
pantas mendapatkan julukan ‘kampung diatas awan’. 

Secara geografis kampung ini terletak diatas ketinggian 
1.200 meter di atas permukaan laut (m dpl). Wae Rebo 
merupakan bagian dari Desa Satar Lenda, Kecamatan 
Satarmese, Kabupaten Manggarai Barat, Flores.

Disini wisatawan mendapat kesempatan untuk melihat dan 
tinggal di Mbaru Niang, sebuah rumah tradisional Flores 
yang masih tersisa dan hanya ada di kampung Wae Rebo. 

Pada tahun 2012 silam, Mbaru Niang mendapatkan penghargaan 
dari UNESCO. Pemandangan alam perbukitan dan hutan hijau 
yang masih asri, dengan diselimuti kabut yang kadang 
tersibak oleh hembusan angin sehingga memperlihatkan 
tujuh buah Mbaru Niang yang berdiri dengan anggunnya, 
merupakan sebuah pemandangan bak di negeri khayalan.


* Menginjak Kampung di Atas Awan










Wae Rebo yang berpenghuni 112 Kepala Keluarga atau sekitar 
625 jiwa penduduk (data 2012) ini semakin mencuri perhatian 
wisatawan, terutama wisatawan dari mancanegara. 

Tidak bisa dipungkiri bahwa selain faktor biaya yang 
relatif mahal untuk sampai ke tempat ini, perjalanannya 
sendiri pun memberikan pengalaman berpetualang dan 
tantangan tersendiri. Dari data yang diperoleh pada 
tahun 2011, total ada 313 turis dari 19 negara yang 
datang berkunjung ke kampung ini.

Awalnya adalah Yori Antar, seorang arsitek asal Jakarta 
yang penasaran dengan Mbaru Niang dari sebuah kartu pos. 

Hingga pada 2008, Yori Antar berhasil ‘menemukan’ 
kampung Wae Rebo hanya berbekal kartu pos bergambar 
Mbaru Niang. Melalui laporannya, banyak wisatawan 
asing yang akhirnya mengetahui tempat ini dan kerap 
berkunjung ke Wae Rebo.

Selain ingin mengetahui tentang Mbaru Niang, suasana 
Wae Rebo yang terisolir dari hiruk pikuk kota juga 
menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka. 

Kearifan lokal masyarakat pedalaman yang masih bergantung 
dari alam ini juga merupakan suguhan tersendiri ketika 
berkunjung ke kampung di atas awan ini. Salah satu kearifan 
lokal yang masih mereka pegang adalah menjaga kelestarian 
Mbaru Niang. 

Di Wae Rebo sendiri hanya boleh ada tujuh buah Mbaru 
Niang tidak kurang dan tidak lebih. Satu rumah Mbaru 
Niang bisa ditempati enam sampai delapan keluarga. 

Sisa masyarakat yang tidak tertampung di Wae Rebo harus 
pindah ke kampung Kombo, sebuah kampung yang terletak 
kira-kira lima kilometer dari Wae Rebo yang kemudian 
mendapat julukan kampung kembaran Wae Rebo karena 
sebagian besar penduduk kampung Kombo berasal dari 
Wae Rebo.

Penduduk Wae Rebo sendiri bukannya tanpa usaha selain 
mendapat tambahan dari wisatawan yang berkunjung. Kopi 
dan kain cura adalah salah satu usaha yang menjadi 
penghasilan utama dari penduduk kampung Wae Rebo. Kopi 
yang dijadikan komoditi adalah jenis arabika. 

Sedangkan kain cura menjadi kerajinan kain tenun yang 
dilakukan oleh ibu-ibu di Wae Rebo. Kain cura ini 
memiliki motif khas berwarna cerah. Untuk pejalan yang 
memang tertarik untuk mengoleksi kain tenun dari 
beberapa daerah di Indonesia, kain cura ini bisa 
menjadi pilihan tersendiri.

Satu hal yang disayangkan dari kampung Wae Rebo sendiri 
adalah dari sektor pendidikan. Tidak ada sekolah di 
kampung ini. Oleh karena itu anak-anak harus menuntut 
ilmu di kampung Kombo, yang artinya mereka sudah harus 
merantau sejak umur tujuh tahun, kelas 1 SD.

Menurut cerita dari mulut ke mulut yang belum bisa dipastikan 
kebenarannya, diketahui bahwa sekitar seribu tahun yang 
lalu, orang Minangkabau datang ke Wae Rebo dan menetap 
disini. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal dan 
nenek moyang orang Wae Rebo.


* Meniti Bumi Menuju Kampung Awan









Wae Rebo terletak di Barat Daya kota Ruteng, ibukota 
Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Namun 
mengingat akses transportasi udara, akan lebih mudah 
jika perjalanan dimulai dari Labuan Bajo. Dari beberapa 
sumber, kebanyakan pengunjung mengambil rute memutar dari 
Ruteng sebelum menuju desa Denge yang merupakan desa 
terakhir sebelum menuju kampung Wae Rebo. 

Selama perjalanan panjang menuju desa Denge kita akan 
disuguhkan pemandangan yang luar biasa, hamparan sawah 
dari tanah Flores yang subur, jalanan bukit yang menanjak 
dan pemandangan pesisir pantai yang menggoda.

Denge merupakan desa pesisir yang berada di tepi pantai. 
Dari Denge kita bisa melihat pulau Mules dengan sebuah 
puncak yang terletak di tengah pulau tersebut. 

Denge berperan sebagai desa transit bagi para wisatawan 
sebelum melanjutkan perjalanan ke Wae Rebo. Disini sudah 
ada beberapa homestay yang dikelola oleh warga Denge maupun 
Wae Rebo yang ‘turun gunung’. Biasanya sebelum melanjutkan 
perjalanan ke Wae Rebo, para wisatawan akan beristirahat 
di Denge setelah perjalanan panjang dari Labuan Bajo atau 
Ruteng. Desa Denge adalah desa terakhir yang dilalui oleh 
kendaraan bermotor, baik itu motor maupun mobil. Untuk 
mencapai Wae Rebo, wisatawan harus berjalan kaki. 

Untuk memudahkan para pengunjung, banyak pemuda desa 
Denge maupun Wae Rebo yang bersedia menjadi tenaga porter, 
membantu pengunjung membawa perlengkapan mereka pada saat 
trekking menuju Wae Rebo.

Perjalanan akan dimulai dari Denge denga jarak tempuh 
± 9 km yang bisa ditempuh dalam waktu 2 – 4 jam, sangat 
tergantung kondisi fisik masing-masing pengunjung. 

Karena letak desa Denge persis di tepi pantai, bisa dikatakan 
perjalanan ke Wae Rebo dimulai dari titik 0 m dpl dan mendaki 
pengunungan hingga ketinggian 1.200 m dpl. Rute awal merupakan 
jalanan tanah lebar yang sekiranya akan dibuat jalan aspal.

Perjalanan akan melintasi kawasan hutan yang rimbun. Pada 
saat memasuki hutan, pengunjung akan disambut oleh riuhnya 
suara kicauan burung. 

Hutan di wilayah ini merupakan area umum, yaitu sebuah 
lokasi yang menjadi tempat pertemuan setiap warga masyarakat. 
Tidak heran jika selama perjalanan melintasi hutan, kita akan 
sering bertemu dengan warga masyarakat yang sedang mengambil 
hasil hutan, mengantarkan pesan kepada keluarga di Kombo 
atau Denge, atau hanya sekedar berkunjung ke sanak keluarga, 
dan lain sebagainya.

Rute berikutnya adalah jalur memutar melewati perbukitan 
yang rawan longsor dan jalanan semakin menyempit. Jalur 
dengan variasi tingkat kesulitan ini menjadi tantangan 
tersendiri bagi para pengunjung. Jalur terberat adalah 
jalur antara Denge hingga Wae Lumba. 

Jalur ini berkarakter bebatuan yang besar, kerap menanjak 
dan terkadang licin. Selain itu kita akan melewati sebuah 
sungai kecil sebelum tiba di Wae Lumba. Jalur Wae Lumba ke 
Poco Roko juga menegangkan, terutama untuk orang yang takut 
ketinggian. 

Pengunjung akan menyusuri jalur yang berada di bibir jurang. 
Poco Roko merupakan titik tertinggi dan lokasi dimana 
masyarakat bersentuhan dengan modernisasi, disini biasanya 
warga mencari sinyal telepon. Dengan adanya sinyal telepon 
berarti komunikasi dengan dunia luar bisa terjadi. 

Salah seorang pengunjung mengaku pernah melakukan update 
status di salah satu jejaring sosial pada saat berada di 
Poco Roko. Beberapa menit setelah melalui Poco Roko, kita 
akan sampai di Ponto Nao. Disini terdapat sebuah pos pemantau 
dengan atap yang terbuat dari ijuk, sama seperti bahan yang 
digunakan untuk membuat atap Mbaru Niang. 

Dari Ponto Nao ini kita bisa melihat di kejauhan sebuah 
dusun dengan bangunan-bangunan berbentuk kerucut yang 
mengepulkan asap. Itulah kampung diatas awan, Wae Rebo. 
Jalur perjalanan akan menurun dengan hamparan tanaman 
kopi di sepanjang jalan hingga tiba di gerbang kampung 
Wae Rebo.


* Merangkul Kearifan Lokal

Wae Rebo adalah kampung adat Manggarai Tua yang berusaha 
untuk melestarikan kearifan lokal sebagai salah satu 
kekayaan budaya Indonesia. Salah satu yang dilakukan 
adalah ritual Pa’u Wae Lu’u. Ritual ini dipimpin oleh 
salah satu tetua adat Wae Rebo yang bertujuan meminta 
ijin dan perlindungan kepada roh leluhur terhadap tamu 
yang berkunjung dan tinggal di Wae Rebo hingga tamu tersebut 
meninggalkan kampung ini. 

Tidak hanya itu, ritual ini juga ditujukan kepada pengunjung 
ketika sudah sampai di tempat asal mereka. Bagi masyarakat 
Wae Rebo, wisatawan yang datang dianggap sebagai saudara 
yang sedang pulang kampung. Sebelum selesai ritual ini, 
para tamu tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan 
apapun termasuk mengambil foto.

Tetua adat Wae Rebo kemudian akan melakukan briefing 
kecil tentang beberapa hal yang tabu dilakukan selama 
para tamu berada di Wae Rebo. Beberapa hal tersebut 
antara lain adalah memakai pakaian sopan, artinya untuk para 
wanita tidak diperkenankan memakai tank top atau hot pants, 
selain karena udara dingin, hal ini akan membuat warga 
masyarakat menjadi risih. Hal lain yang perlu mendapat 
perhatian adalah tidak menunjukkan kemesraan, baik itu dengan 
lawan jenis maupun sejenis, seperti berpegangan tangan, 
berpelukan atau berciuman, bahkan untuk yang sudah berstatus 
suami istri. 

Hal lain yang perlu dihindari adalah mengumpat atau memaki 
selama berada di kampung ini. Pengunjung juga diharuskan 
melepaskan alas kaki ketika masuk ke dalam rumah.

Kearifan lokal lain yang perlu mendapat perhatian adalah 
tentang penggunaan uang administrasi bagi wisatawan yang 
masuk ke kampung Wae Rebo. Memang ada kesan bahwa biaya 
administrasi selalu dikaitkan dengan komersialisasi budaya, 
uangnya dikemanakan, dan pertanyaan lainnya yang selalu 
dikaitkan dengan korupsi. 

Namun uang administrasi di Wae Rebo ini sudah diatur menurut 
kearifan lokal setempat. Pengelolaan uang ini dipercayakan 
kepada Lembaga Pariwisata Wae Rebo. Uang administrasi yang 
didapat dari wisatawan digunakan untuk keperluan biaya bahan 
makanan dan memasak makanan yang dibuat oleh para ibu, 
pemeliharaan infrastruktur kampung, bahan bakar 
generator set dan sumber air.

Sehari-hari warga Wae Rebo merupakan petani kopi dan 
pengrajin kain tenun cura. Saat ini warga Wae Rebo sedang 
mengembangkan berkebun sayur mayur. Untuk wisatawan 
yang datang, bisa mengikuti kegiatan ini, seperti ikut menumbuk 
kopi dengan ibu-ibu, memetik kopi dari kebun kopi dengan 
para lelaki bahkan bisa melihat ibu-ibu menenun kerajinan 
kain cura yang biasanya dilakukan di depan rumah. 

Para wisatawan dapat terlibat langsung dalam kegiatan 
sehari-hari masyarakat Wae Rebo. Saat malam tiba pengunjung 
akan menginap di Mbaru Niang, rumah adat Wae Rebo yang 
namanya sudah mendunia. Dengan beralaskan tikar yang dianyam 
dari daun pandan, kita akan bercengkerama dan saling berbagi 
cerita tentang pengalaman hidup keluarga besar di Wae Rebo.


* Mbaru Niang

Nah, salah satu daya tarik kampung ini yang sudah 
mendunia adalah rumah adat yang dilestarikan di kampung ini, 
Mbaru Niang. Dalam bahasa Manggarai, Mbaru Niang berarti 
‘rumah drum’. 

Bangunan berbentuk kerucut ini dibangun secara tradisional. 
Atap besar terbuat dari ijuk yang hampir menyentuh tanah, 
mirip dengan honai di Papua, didukung dengan sebuah tiang 
kayu pusat. Didalamnya terdapat perapian yang terletak di 
tengah rumah. Disebut rumah drum karena salah satu rumah 
digunakan untuk menyimpan drum pusaka suci dan gong yang 
merupakan media sakral klan untuk berkomunikasi dengan 
nenek moyang.

Bentuk bangunan Mbaru Niang yang berbentuk kerucut, 
melingkar dan berpusat di tengah diyakini melambangkan 
persaudaraan yang tidak pernah putus di Wae Rebo dengan 
leluhur mereka sebagai titik pusatnya. Pada kenyataannya 
memang warga Wae Rebo tidak melupakan leluhurnya seperti 
yang tertuang dalam ungkapan “neka hemong kuni agu kalo” 
yang bermakna “jangan lupakan tanah kelahiran”.

Struktur Mbaru Niang cukup tinggi, sekitar 15 meter, yang 
keseluruhannya ditutup dengan ijuk. Didalamnya memiliki 
lima tingkat yang terbuat dari kayu worok dan bambu yang 
menggunakan rotan untuk mengikat konstruksi sebagai 
ganti paku. 








Mbaru Niang merupakan bangunan komunal, yang artinya satu 
rumah bisa ditempati enam sampai delapan keluarga dalam 
satu atap besar. Konsep arsitektur inilah yang membuat Yori 
Antar dan kawan-kawan penasaran dan mencari tempat ini 
pada tahun 2008. 









Mbaru Niang sendiri dibuat dengan struktur lima tingkat. 
Masing-masing tingkat memiliki nama dan fungsinya masing-
masing. Tingkat pertama disebut lutur yang berarti tenda, 
lutur berfungsi sebagai tempat tinggal dan berkumpul dengan 
keluarga. Tingkat kedua disebut lobo, sebuah loteng yang 
berfungsi menyimpan bahan makanan dan barang-barang keperluan 
sehari-hari. Tingkat ketiga disebut lentar, yang berfungsi 
untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti jagung, 
padi dan kacang-kacangan. 

Tingkat keempat dinamakan lempa rae yang merupakan tempat 
yang disediakan untuk menyimpan stok pangan jika terjadi 
kekeringan. Tingkat terakhir dinamakan hekang kode yang 
berfungsi untuk menyimpan langkar, sebuah anyaman bambu 
berberntuk persegi untuk menyimpan sesajian yang akan 
digunakan untuk persembahan kepada leluhur. Semua tingkat 
dan fungsinya masih ada dalam setiap Mbaru Niang dan terus 
dipertahankan hingga saat ini. Jika ada Mbaru Niang yang 
rusak dan butuh perbaikan, renovasi tradisional juga masih 
dikerjakan oleh masyarakat Wae Rebo dalam semangat 
gotong royong.

Konsistensi inilah yang kemudian membuat UNESCO memberikan 
penghargaan Award of Excellence pada acara UNESCO Asia-Pacific 
Awards tahun 2012 di Bangkok. Penghargaan ini diberikan 
kepada proyek-proyek konservasi dalam sepuluh tahun terakhir 
untuk bangunan yang telah berumur lebih dari lima puluh tahun. 

Mbaru Niang berhasil mengalahkan 42 kendidat lainnya dari 
11 negara di Asia Pasifik, antara lalin sistem irigasi 
bersejarah di India, kompleks Zhizhusi di Cina dan Masjid 
Khilingrong di Pakistan. 

Dalam keterangan resmi penghargaan UNESCO disebutkan, 
keunggulan proyek pembangunan kembali Mbaru Niang terletak 
pada keberhasilannya “mengayomi isu-isu konservasi dalam 
cakupan yang luas di tataran lokal.” Sila buka 

http://www.unescobkk.org/news/article/top-award-given-to-
mbaru-niang-in-indonesia-for-the-2012-unesco-asia-pacific-
heritage-awards untuk melihat press release dari website UNESCO.









Sama seperti daerah di Indonesia bagian Timur yang masih kaya 
dengan potensi budaya, kita masih bisa melakukan banyak 
eksplorasi budaya dan wisata disini. Bukan untuk melakukan 
eksploitasi budaya Indonesia, namun semata karena dengan 
adanya dukungan pariwisata, kesejahteraan masyarakat di 
lokasi wisata akan semakin baik, akses jalan salah satunya, 
faktor transportasi juga perlu mendapat perhatian dari 
semua pihak terutama untuk infrastrukturnya. Tidak heran 
kini Wae Rebo mendapat dukungan untuk menjadi Atraksi 
Wisata Budaya Utama di Flores Barat.

Untuk sobat Kalamantana yang ingin menikmati langsung 
keindahan Wae Rebo, bisa dilihat disini: http://wp.me/P4HVuI-8n

__________

Penutup
__________

Demikian infonya para kawan sekalian...!

...dan...

Selamat malam...!







________________________________________________________________
Cat :
[INDONESIA TRAVEL SERIES] Jalan2Men 2013 - Wae Rebo - Episode 11 (Part 2) - YouTube





Tidak ada komentar:

Posting Komentar