#SELAMAT MALAM PARA KAWAN#
(Menyimak info sekitar Desa Wae Rebo Flores sebagai
Desa Misterius diatas Awan)
_________________________________________________________
__________________
Kata Pengantar
__________________
Para kawan sekalian...!
Lewat link :
.........
penulis mengurai mengenai Nagari Pariangan sebagai
1 dari desa terindah di Dunia. Dan memang indah.
Pada saat mengurai penulis terbawa arus, kalau yang
pakai arus-lah postingan ini, ke Kampung Wae Rebo Flores
Indonesia. Suatu Kampung Misterius katanya yang
ke-beradaannya, berada ditas awan dibawah lagit.
Telusur punya telusur, ternyata tertulusuri bahwa
nenek Moyangnnnya orang-orang yang berada di Kampung
Misterius atas awan ini berasal dari Minang. Minag
Kabau Sumatra barat maksudnya.
Hebat bukan...?
...dan...
Karena hebatnya, awak-pun tak tahu entah dalam rangka
apa pula orang-orang minang kabau masa lampau tersebut
ke Flores sana.
Dan ini pulalalh salah satu ruginya jika kita manusia
ini lahir dan hidup dimasa kini. Banyak peristiwa masa
lampau itu tidak kita alami. Kita menjadi tidak termasuk
pelaku sejarah.
Padahal dan padahal...!
Kalau kita yang menjadi pelaku sejarah itu, maka orang
orang masa kini itu akan menyebut kita Nenek Moyang.
Para kawan sekalian...!
Anda mau jadi Nenek moyang bukan...?
a. Mau...!
b. Tidak mau...!
Oke-lah kalau begitu...!
Kembali ketopik. Dan berikut info sekitar Desa Wae Rebo
Flores sebagai Desa Misterius di atas Awan. Info ini di
dukung animasi langsung dari tempat kejadian.
Selamat menyimak...!
____________________________________
Sekilas info Wae Rebo - Wiki
____________________________________
Wae Rebo adalah sebuah desa adat terpencil dan misterius
di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
Di kampung ini hanya terdapat 7 rumah utama atau yang
disebut sebagai Mbaru Niang. Menurut legenda masyarakatnya,
nenek moyang mereka berasal dari Minangkabau, Sumatera.
______________________________________________________
Sekilas info tentang Wae Rebo, Kampung di Atas Awan
______________________________________________________
* Pemahaman awal
Wae Rebo memang indah dan menakjubkan, diselimuti oleh
kabut tipis di seluruh perkampungan membuat Wae Rebo
pantas mendapatkan julukan ‘kampung diatas awan’.
Secara geografis kampung ini terletak diatas ketinggian
1.200 meter di atas permukaan laut (m dpl). Wae Rebo
merupakan bagian dari Desa Satar Lenda, Kecamatan
Satarmese, Kabupaten Manggarai Barat, Flores.
Disini wisatawan mendapat kesempatan untuk melihat dan
tinggal di Mbaru Niang, sebuah rumah tradisional Flores
yang masih tersisa dan hanya ada di kampung Wae Rebo.
Pada tahun 2012 silam, Mbaru Niang mendapatkan penghargaan
dari UNESCO. Pemandangan alam perbukitan dan hutan hijau
yang masih asri, dengan diselimuti kabut yang kadang
tersibak oleh hembusan angin sehingga memperlihatkan
tujuh buah Mbaru Niang yang berdiri dengan anggunnya,
merupakan sebuah pemandangan bak di negeri khayalan.
* Menginjak Kampung di Atas Awan
Wae Rebo yang berpenghuni 112 Kepala Keluarga atau sekitar
625 jiwa penduduk (data 2012) ini semakin mencuri perhatian
wisatawan, terutama wisatawan dari mancanegara.
Tidak bisa dipungkiri bahwa selain faktor biaya yang
relatif mahal untuk sampai ke tempat ini, perjalanannya
sendiri pun memberikan pengalaman berpetualang dan
tantangan tersendiri. Dari data yang diperoleh pada
tahun 2011, total ada 313 turis dari 19 negara yang
datang berkunjung ke kampung ini.
Awalnya adalah Yori Antar, seorang arsitek asal Jakarta
yang penasaran dengan Mbaru Niang dari sebuah kartu pos.
Hingga pada 2008, Yori Antar berhasil ‘menemukan’
kampung Wae Rebo hanya berbekal kartu pos bergambar
Mbaru Niang. Melalui laporannya, banyak wisatawan
asing yang akhirnya mengetahui tempat ini dan kerap
berkunjung ke Wae Rebo.
Selain ingin mengetahui tentang Mbaru Niang, suasana
Wae Rebo yang terisolir dari hiruk pikuk kota juga
menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka.
Kearifan lokal masyarakat pedalaman yang masih bergantung
dari alam ini juga merupakan suguhan tersendiri ketika
berkunjung ke kampung di atas awan ini. Salah satu kearifan
lokal yang masih mereka pegang adalah menjaga kelestarian
Mbaru Niang.
Di Wae Rebo sendiri hanya boleh ada tujuh buah Mbaru
Niang tidak kurang dan tidak lebih. Satu rumah Mbaru
Niang bisa ditempati enam sampai delapan keluarga.
Sisa masyarakat yang tidak tertampung di Wae Rebo harus
pindah ke kampung Kombo, sebuah kampung yang terletak
kira-kira lima kilometer dari Wae Rebo yang kemudian
mendapat julukan kampung kembaran Wae Rebo karena
sebagian besar penduduk kampung Kombo berasal dari
Wae Rebo.
Penduduk Wae Rebo sendiri bukannya tanpa usaha selain
mendapat tambahan dari wisatawan yang berkunjung. Kopi
dan kain cura adalah salah satu usaha yang menjadi
penghasilan utama dari penduduk kampung Wae Rebo. Kopi
yang dijadikan komoditi adalah jenis arabika.
Sedangkan kain cura menjadi kerajinan kain tenun yang
dilakukan oleh ibu-ibu di Wae Rebo. Kain cura ini
memiliki motif khas berwarna cerah. Untuk pejalan yang
memang tertarik untuk mengoleksi kain tenun dari
beberapa daerah di Indonesia, kain cura ini bisa
menjadi pilihan tersendiri.
Satu hal yang disayangkan dari kampung Wae Rebo sendiri
adalah dari sektor pendidikan. Tidak ada sekolah di
kampung ini. Oleh karena itu anak-anak harus menuntut
ilmu di kampung Kombo, yang artinya mereka sudah harus
merantau sejak umur tujuh tahun, kelas 1 SD.
Menurut cerita dari mulut ke mulut yang belum bisa dipastikan
kebenarannya, diketahui bahwa sekitar seribu tahun yang
lalu, orang Minangkabau datang ke Wae Rebo dan menetap
disini. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal dan
nenek moyang orang Wae Rebo.
* Meniti Bumi Menuju Kampung Awan
Wae Rebo terletak di Barat Daya kota Ruteng, ibukota
Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Namun
mengingat akses transportasi udara, akan lebih mudah
jika perjalanan dimulai dari Labuan Bajo. Dari beberapa
sumber, kebanyakan pengunjung mengambil rute memutar dari
Ruteng sebelum menuju desa Denge yang merupakan desa
terakhir sebelum menuju kampung Wae Rebo.
Selama perjalanan panjang menuju desa Denge kita akan
disuguhkan pemandangan yang luar biasa, hamparan sawah
dari tanah Flores yang subur, jalanan bukit yang menanjak
dan pemandangan pesisir pantai yang menggoda.
Denge merupakan desa pesisir yang berada di tepi pantai.
Dari Denge kita bisa melihat pulau Mules dengan sebuah
puncak yang terletak di tengah pulau tersebut.
Denge berperan sebagai desa transit bagi para wisatawan
sebelum melanjutkan perjalanan ke Wae Rebo. Disini sudah
ada beberapa homestay yang dikelola oleh warga Denge maupun
Wae Rebo yang ‘turun gunung’. Biasanya sebelum melanjutkan
perjalanan ke Wae Rebo, para wisatawan akan beristirahat
di Denge setelah perjalanan panjang dari Labuan Bajo atau
Ruteng. Desa Denge adalah desa terakhir yang dilalui oleh
kendaraan bermotor, baik itu motor maupun mobil. Untuk
mencapai Wae Rebo, wisatawan harus berjalan kaki.
Untuk memudahkan para pengunjung, banyak pemuda desa
Denge maupun Wae Rebo yang bersedia menjadi tenaga porter,
membantu pengunjung membawa perlengkapan mereka pada saat
trekking menuju Wae Rebo.
Perjalanan akan dimulai dari Denge denga jarak tempuh
± 9 km yang bisa ditempuh dalam waktu 2 – 4 jam, sangat
tergantung kondisi fisik masing-masing pengunjung.
Karena letak desa Denge persis di tepi pantai, bisa dikatakan
perjalanan ke Wae Rebo dimulai dari titik 0 m dpl dan mendaki
pengunungan hingga ketinggian 1.200 m dpl. Rute awal merupakan
jalanan tanah lebar yang sekiranya akan dibuat jalan aspal.
Perjalanan akan melintasi kawasan hutan yang rimbun. Pada
saat memasuki hutan, pengunjung akan disambut oleh riuhnya
suara kicauan burung.
Hutan di wilayah ini merupakan area umum, yaitu sebuah
lokasi yang menjadi tempat pertemuan setiap warga masyarakat.
Tidak heran jika selama perjalanan melintasi hutan, kita akan
sering bertemu dengan warga masyarakat yang sedang mengambil
hasil hutan, mengantarkan pesan kepada keluarga di Kombo
atau Denge, atau hanya sekedar berkunjung ke sanak keluarga,
dan lain sebagainya.
Rute berikutnya adalah jalur memutar melewati perbukitan
yang rawan longsor dan jalanan semakin menyempit. Jalur
dengan variasi tingkat kesulitan ini menjadi tantangan
tersendiri bagi para pengunjung. Jalur terberat adalah
jalur antara Denge hingga Wae Lumba.
Jalur ini berkarakter bebatuan yang besar, kerap menanjak
dan terkadang licin. Selain itu kita akan melewati sebuah
sungai kecil sebelum tiba di Wae Lumba. Jalur Wae Lumba ke
Poco Roko juga menegangkan, terutama untuk orang yang takut
ketinggian.
Pengunjung akan menyusuri jalur yang berada di bibir jurang.
Poco Roko merupakan titik tertinggi dan lokasi dimana
masyarakat bersentuhan dengan modernisasi, disini biasanya
warga mencari sinyal telepon. Dengan adanya sinyal telepon
berarti komunikasi dengan dunia luar bisa terjadi.
Salah seorang pengunjung mengaku pernah melakukan update
status di salah satu jejaring sosial pada saat berada di
Poco Roko. Beberapa menit setelah melalui Poco Roko, kita
akan sampai di Ponto Nao. Disini terdapat sebuah pos pemantau
dengan atap yang terbuat dari ijuk, sama seperti bahan yang
digunakan untuk membuat atap Mbaru Niang.
Dari Ponto Nao ini kita bisa melihat di kejauhan sebuah
dusun dengan bangunan-bangunan berbentuk kerucut yang
mengepulkan asap. Itulah kampung diatas awan, Wae Rebo.
Jalur perjalanan akan menurun dengan hamparan tanaman
kopi di sepanjang jalan hingga tiba di gerbang kampung
Wae Rebo.
* Merangkul Kearifan Lokal
Wae Rebo adalah kampung adat Manggarai Tua yang berusaha
untuk melestarikan kearifan lokal sebagai salah satu
kekayaan budaya Indonesia. Salah satu yang dilakukan
adalah ritual Pa’u Wae Lu’u. Ritual ini dipimpin oleh
salah satu tetua adat Wae Rebo yang bertujuan meminta
ijin dan perlindungan kepada roh leluhur terhadap tamu
yang berkunjung dan tinggal di Wae Rebo hingga tamu tersebut
meninggalkan kampung ini.
Tidak hanya itu, ritual ini juga ditujukan kepada pengunjung
ketika sudah sampai di tempat asal mereka. Bagi masyarakat
Wae Rebo, wisatawan yang datang dianggap sebagai saudara
yang sedang pulang kampung. Sebelum selesai ritual ini,
para tamu tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan
apapun termasuk mengambil foto.
Tetua adat Wae Rebo kemudian akan melakukan briefing
kecil tentang beberapa hal yang tabu dilakukan selama
para tamu berada di Wae Rebo. Beberapa hal tersebut
antara lain adalah memakai pakaian sopan, artinya untuk para
wanita tidak diperkenankan memakai tank top atau hot pants,
selain karena udara dingin, hal ini akan membuat warga
masyarakat menjadi risih. Hal lain yang perlu mendapat
perhatian adalah tidak menunjukkan kemesraan, baik itu dengan
lawan jenis maupun sejenis, seperti berpegangan tangan,
berpelukan atau berciuman, bahkan untuk yang sudah berstatus
suami istri.
Hal lain yang perlu dihindari adalah mengumpat atau memaki
selama berada di kampung ini. Pengunjung juga diharuskan
melepaskan alas kaki ketika masuk ke dalam rumah.
Kearifan lokal lain yang perlu mendapat perhatian adalah
tentang penggunaan uang administrasi bagi wisatawan yang
masuk ke kampung Wae Rebo. Memang ada kesan bahwa biaya
administrasi selalu dikaitkan dengan komersialisasi budaya,
uangnya dikemanakan, dan pertanyaan lainnya yang selalu
dikaitkan dengan korupsi.
Namun uang administrasi di Wae Rebo ini sudah diatur menurut
kearifan lokal setempat. Pengelolaan uang ini dipercayakan
kepada Lembaga Pariwisata Wae Rebo. Uang administrasi yang
didapat dari wisatawan digunakan untuk keperluan biaya bahan
makanan dan memasak makanan yang dibuat oleh para ibu,
pemeliharaan infrastruktur kampung, bahan bakar
generator set dan sumber air.
Sehari-hari warga Wae Rebo merupakan petani kopi dan
pengrajin kain tenun cura. Saat ini warga Wae Rebo sedang
mengembangkan berkebun sayur mayur. Untuk wisatawan
yang datang, bisa mengikuti kegiatan ini, seperti ikut menumbuk
kopi dengan ibu-ibu, memetik kopi dari kebun kopi dengan
para lelaki bahkan bisa melihat ibu-ibu menenun kerajinan
kain cura yang biasanya dilakukan di depan rumah.
Para wisatawan dapat terlibat langsung dalam kegiatan
sehari-hari masyarakat Wae Rebo. Saat malam tiba pengunjung
akan menginap di Mbaru Niang, rumah adat Wae Rebo yang
namanya sudah mendunia. Dengan beralaskan tikar yang dianyam
dari daun pandan, kita akan bercengkerama dan saling berbagi
cerita tentang pengalaman hidup keluarga besar di Wae Rebo.
* Mbaru Niang
Nah, salah satu daya tarik kampung ini yang sudah
mendunia adalah rumah adat yang dilestarikan di kampung ini,
Mbaru Niang. Dalam bahasa Manggarai, Mbaru Niang berarti
‘rumah drum’.
Bangunan berbentuk kerucut ini dibangun secara tradisional.
Atap besar terbuat dari ijuk yang hampir menyentuh tanah,
mirip dengan honai di Papua, didukung dengan sebuah tiang
kayu pusat. Didalamnya terdapat perapian yang terletak di
tengah rumah. Disebut rumah drum karena salah satu rumah
digunakan untuk menyimpan drum pusaka suci dan gong yang
merupakan media sakral klan untuk berkomunikasi dengan
nenek moyang.
Bentuk bangunan Mbaru Niang yang berbentuk kerucut,
melingkar dan berpusat di tengah diyakini melambangkan
persaudaraan yang tidak pernah putus di Wae Rebo dengan
leluhur mereka sebagai titik pusatnya. Pada kenyataannya
memang warga Wae Rebo tidak melupakan leluhurnya seperti
yang tertuang dalam ungkapan “neka hemong kuni agu kalo”
yang bermakna “jangan lupakan tanah kelahiran”.
Struktur Mbaru Niang cukup tinggi, sekitar 15 meter, yang
keseluruhannya ditutup dengan ijuk. Didalamnya memiliki
lima tingkat yang terbuat dari kayu worok dan bambu yang
menggunakan rotan untuk mengikat konstruksi sebagai
ganti paku.
Mbaru Niang merupakan bangunan komunal, yang artinya satu
rumah bisa ditempati enam sampai delapan keluarga dalam
satu atap besar. Konsep arsitektur inilah yang membuat Yori
Antar dan kawan-kawan penasaran dan mencari tempat ini
pada tahun 2008.
Mbaru Niang sendiri dibuat dengan struktur lima tingkat.
Masing-masing tingkat memiliki nama dan fungsinya masing-
masing. Tingkat pertama disebut lutur yang berarti tenda,
lutur berfungsi sebagai tempat tinggal dan berkumpul dengan
keluarga. Tingkat kedua disebut lobo, sebuah loteng yang
berfungsi menyimpan bahan makanan dan barang-barang keperluan
sehari-hari. Tingkat ketiga disebut lentar, yang berfungsi
untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti jagung,
padi dan kacang-kacangan.
Tingkat keempat dinamakan lempa rae yang merupakan tempat
yang disediakan untuk menyimpan stok pangan jika terjadi
kekeringan. Tingkat terakhir dinamakan hekang kode yang
berfungsi untuk menyimpan langkar, sebuah anyaman bambu
berberntuk persegi untuk menyimpan sesajian yang akan
digunakan untuk persembahan kepada leluhur. Semua tingkat
dan fungsinya masih ada dalam setiap Mbaru Niang dan terus
dipertahankan hingga saat ini. Jika ada Mbaru Niang yang
rusak dan butuh perbaikan, renovasi tradisional juga masih
dikerjakan oleh masyarakat Wae Rebo dalam semangat
gotong royong.
Konsistensi inilah yang kemudian membuat UNESCO memberikan
penghargaan Award of Excellence pada acara UNESCO Asia-Pacific
Awards tahun 2012 di Bangkok. Penghargaan ini diberikan
kepada proyek-proyek konservasi dalam sepuluh tahun terakhir
untuk bangunan yang telah berumur lebih dari lima puluh tahun.
Mbaru Niang berhasil mengalahkan 42 kendidat lainnya dari
11 negara di Asia Pasifik, antara lalin sistem irigasi
bersejarah di India, kompleks Zhizhusi di Cina dan Masjid
Khilingrong di Pakistan.
Dalam keterangan resmi penghargaan UNESCO disebutkan,
keunggulan proyek pembangunan kembali Mbaru Niang terletak
pada keberhasilannya “mengayomi isu-isu konservasi dalam
cakupan yang luas di tataran lokal.” Sila buka
http://www.unescobkk.org/news/article/top-award-given-to-
mbaru-niang-in-indonesia-for-the-2012-unesco-asia-pacific-
heritage-awards untuk melihat press release dari website UNESCO.
Sama seperti daerah di Indonesia bagian Timur yang masih kaya
dengan potensi budaya, kita masih bisa melakukan banyak
eksplorasi budaya dan wisata disini. Bukan untuk melakukan
eksploitasi budaya Indonesia, namun semata karena dengan
adanya dukungan pariwisata, kesejahteraan masyarakat di
lokasi wisata akan semakin baik, akses jalan salah satunya,
faktor transportasi juga perlu mendapat perhatian dari
semua pihak terutama untuk infrastrukturnya. Tidak heran
kini Wae Rebo mendapat dukungan untuk menjadi Atraksi
Wisata Budaya Utama di Flores Barat.
Untuk sobat Kalamantana yang ingin menikmati langsung
keindahan Wae Rebo, bisa dilihat disini: http://wp.me/P4HVuI-8n
__________
Penutup
__________
Demikian infonya para kawan sekalian...!
...dan...
Selamat malam...!
________________________________________________________________
Cat :
[INDONESIA TRAVEL SERIES] Jalan2Men 2013 - Wae Rebo - Episode 11 (Part 2) - YouTube
Tidak ada komentar:
Posting Komentar